Keringat yang diperasnya untuk biaya kuliah dengan berjualan sayur di pasar dirasakan tidak membuahkan apa-apa. Anak kesayangannya hanya menjadi pengangguran sukarela. Pengangguran atas pilihannya sendiri. Bekerja dengan upah rendah tidak mau diterimanya sebab tidur di rumah lebih baik daripada bekerja dengan upah kecil, pikirnya.
Dengan gusar dan sedikit memaksa, bapak itu berkata pada anaknya suatu kali, “Besok pagi jam dua kamu harus pergi jualan sayur, menggantikan Bapak di pasar.”
Si anak mengernyit, ia segera berujar, “Saya malu, Pak. Saya insinyur pertanian, mengapa harus jualan sayur di pasar?”
“Apa orang di pasar mengenal kamu dan peduli sama kamu kalau kamu seorang insinyur?”
Anaknya tertunduk diam tidak mampu memberikan jawaban.
Di pagi buta, akhirnya anak itu terpaksa menggantikan bapaknya jualan di pasar. Ketika berjualan dia merasa tidak ada yang memperhatikan dia. Tidak ada yang peduli bahwa dia seorang insinyur. Semua sibuk dengan aktivitas berjual dan membeli. Si anak pun akhirnya larut membaur.
Dengan pengetahuannya yang dimiliki sebagai insinyur pertanian, dia menjajakan sayur dan ketika menjualnya dia menerangkan tentang kandungan-kandungan gizi dan vitamin di dalam sayur.
Ketika pulang dari pasar, bapaknya bertanya, “Apa ada yang peduli sama kamu bahwa kamu seorang insinyur?”
Si anak menggeleng.
“Apa ada yang menghina kamu jualan sayur sebab kamu bergelar insinyur?”
Si anak kembali menggeleng.
“Bagus. Sekarang kamu sudah belajar, Nak. Teruskan dan abaikan rasa sombong dalam dirimu.”
Karena didukung pendidikan dan pengetahuan tentang sayur-mayur, akhirnya jualan sayurnya menjadi yang paling laku di pasar. Setahun kemudian dia telah menjadi pengusaha sayur terkenal.
Pengangguran itu pilihan bukan nasib, jadi bekerjalah semampu kita dan kita akan menjadi orang terhormat. (IP)
0 komentar:
Posting Komentar