Sekilas Pendidikan Dasar di Jerman | Wanbul
Home » » Sekilas Pendidikan Dasar di Jerman

Sekilas Pendidikan Dasar di Jerman

sekilas pendidikan dasar di jerman
Berbicara soal pendidikan berarti menceritakan pengalaman kedua anakku dan diriku sendiri. Anggap saja sebagai sampel dari sistem pendidikan di Jerman yang terkenal sangat lama namun umumnya bebas SPP alias gratis. Bila dibandingkan lama pendidikan dari SD hingga lulus SMA di Indonesia selama 12 tahun, di Jerman dibutuhkan 13 tahun. Itupun ada tambahan untuk laki-laki berupa wajib militer, atau jika kesehatan tidak memungkinkan ada wajib bekerja sipil (Zivilliansdienst) di kantor pemerintah atau badan sosial.

Sejak datang di awal 1993, Anak sulungku Naufal bersekolah di Grundschule (SD) mulai kelas satu, sedangkan adiknya Fadhilla di Kindergarten (TK). Untunglah, mereka mendapat guru yang bisa berbahasa Inggris. Namun mereka ramah dan kooperatif, setiap akhir semester kami dipanggil untuk mendiskusikan perkembangan pendidikan anak. Di samping itu ada forum Elternabend(pertemuan orang tua dan guru pada malam hari) untuk mendiskusikan hal-hal aktual mengenai sekolah dan merencanakan kegiatan-kegiatan bersama anak, orangtua, dan guru. DukunganElternbeirat (persatuan orang tua murid) sangat besar terhadap sekolah sehingga pendidikan anak dapat diintegrasi antara yang di sekolah dan di rumah. Kami belajar dari mereka cara memecahkan persoalan. Masalah yang kelihatannya sederhana ternyata dipilah dan dibahas dari A hingga Z secara sistematis. Mereka juga berdisiplin, tepat waktu dimulai dan tepat waktu selesai acara. Dan yang penting, tidak ada iuran orang tua siswa yang memberatkan seperti di Indonesia saat ini karena subsidi dari pemerintah kota sudah mencukupi.

Dasar anak-anak. Mereka cukup cepat dalam menguasai bahasa Jerman. Apalagi si bungsu, waktu dua minggu pertama masuk sekolah menangis karena hanya bisa berbahasa Indonesia, namun setelah itu justru aku banyak belajar bahasa Jerman dari dia, saking ceriwisnya. Si sulung sedikit berbeda, dia cukup pendiam sehingga harus mengikuti kursus bahasa yang diadakan di sekolah setiap minggu sekali. Sebenarnya dia juga mampu tapi diungkapkan dalam bentuk tulisan dan gambar. Kesimpulanku dari pengalaman kedua anakku itu, ternyata belajar bahasa secara oral bisa cepat itu jika tidak memperdulikan struktur bahasa terlebih dahulu. Begitu mengenal struktur, si sulung harus berpikir lebih dulu untuk membuat kalimat sempurna sehingga agak terlambat untuk berbicara. Tapi yang membuatku bersyukur, mereka sering main bersama dan nonton film kartun di TV sehingga turut mempercepat penguasaan bahasa Jerman.

Untuk urusan anak, sebenarnya ada fasilitas Tagesmutter (ibu asuh) atau penitipan anak dimana kita bisa mengajukan untuk dibiayai pemerintah kota. Namun aku dan suamiku memutuskan untuk tidak memanfaatkannya karena kami lebih sering bekerja (belajar) di rumah. Jadinya, rumah sepi dari teriakan anak hanya pada waktu pagi hingga siang saja. Satu lagi, mereka diantar jemput ke sekolah memakai sepeda. Sebuah kendaraan sederhana semua musim. Suamiku bilang anak-anak, ”Ini sesuatu yang tidak bisa dikerjakan di Indonesia lho, naik sepeda di atas salju”. Wah!

***

Anak bungsuku, Fadhilla usianya memang belum 7 tahun untuk bisa masuk Grundshule. Jadinya dia harus masuk Kindergarten (TK). Kindergarten dimulai dari umur 3-6 tahun. Pendidikan ini dinamakan „Vorschulische Einrichtungen“, yang berarti „Persiapan sebelum Pendidikan“. Untuk masuk Kindergarten, ada kewajiban membayar biaya SPP, karena belum termasuk wajib belajar. Tahun ini besarnya 90 Euro. Namun bagi keluarga yang berpenghasilan pas-pasan seperti aku bisa mengajukan keringanan biaya ke Dinas Sosial (Sozialamt) pemerintah kota. Alhasil, Fadhilla juga bisa gratis biaya Kindergarten.

Fadhilla masuk Kindergarten pada jam 8.45 dan bisa dijemput pulang pada jam 12.00. Anak-anak lain ada yang terus hingga sore menunggu kedua orangtuanya selesai bekerja. Tentu saja biaya SPP-nya lebih besar karena disediakan makan siang. Program di Kindergarten dibagi dalam ruang-ruang. Setiap ruang anak-anak diajari satu tema tertentu oleh 1-2 orang guru. Di Kindergarten-nya Fadhilla ada Malraum (ruang gambar dan prakarya), Puppenraum (ruang bermain boneka),Bauraum (ruang bermain bentuk bangunan). Sebelum program dimulai, anak-anak bisa Frühstück(sarapan) terlebih dahulu di ruang makan. Pihak Kindergarten hanya menyediakan susu dan air minum, sedangkan makanan dibawa sendiri dari rumah. Jam 11.00 program selesai, anak-anak bebas main di halaman belakang (Spielplatz) jika tidak hujan air. Namun jika turun salju malah disambut gembira karena bisa membuat boneka salju dan main lempar salju. Di halaman itu terdapat mainan ayunan, pasir putih, prosotan, panjat tebing, rumah-rumahan, kapal-kapalan, dan sebagainya.

Jika seorang anak ulang tahun, maka ia ditemani seorang guru pembimbingnya bisa mengundang 5-10 teman akrabnya untuk membuat acara tersendiri. Anak-anak Jerman ternyata mempunyai kebiasaan berteman secara eksklusif jika merasa cocok gaya mainnya. Jika tidak merasa cocok lagi, dengan tenang dia bilang ke "mantan" temannya, "Du bist nicht mehr mein Freund (kamu bukan teman saya lagi)". Bagi anak yang perasa seperti Fadhilla mungkin akan kecewa, namun lama-lama akan terbiasa. Soalnya, suatu saat begitu cocok lagi mereka akan bermain bersama lagi dan melupakan kasus terdahulu. Yah, begitulah anak.

Setelah Kindergarten dimulai pendidikan dasar pada umur 7 tahun sampai dengan 10 tahun. Pendidikan ini dinamakan Grundschule (SD). Sebenarnya waktu di Bandung, anak sulungku Naufal, sudah kelas 2 catur wulan ke-2. Namun sewaktu mendaftar di Grundschule diberi pilihan, apakah tetap kelas 2 namun dengan resiko susah mengejar pelajaran karena kesulitan bahasa, ataukah turun kelas 1 agar lebih dapat menangkap pelajaran. Problemnya, sistem pendidikannya berbeda, jadi seperti "ganti rel". Kami diberi waktu satu bulan untuk memutuskan. Akhirnya dengan pertimbangan Naufal menyenangi kondisi kelasnya dan gurunya Frau Bastiansen sangat komunikatif, kami akhirnya memutuskan Naufal di kelas 1. Frau Bastiansen mengatakan Naufal akan terus dipantau dan kalau dia merasa bosan ada kemungkinan bisa dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi.

***
Kuperhatikan pelajaran SD di Indonesia banyak sekali macamnya. Hafalannya juga banyak dan matematika kelas 2 sudah berupa penambahan bilangan hingga 1000. Akibatnya Naufal sewaktu di Bandung dulu susah konsentrasi, dan banyak kata-kata "orang dewasa" sudah diperkenalkan tanpa sang anak memahami maknanya. Pernah ada soal PR PPKN untuk kelas 1 (mengenai kewarganegaraan) yang bunyinya kurang lebih, "Anak harus selalu .... orang tua. Pilihan: (a) .... (b) ... (c) menghormati". Dia bingung jawabnya yang mana. Sewaktu kuberitahu jawabnya (c), dia bertanya kepadaku, "Apa sih artinya 'menghormati'?". Aku tercenung. Benar juga, kata "menghormati" itu belum ada di kamus anak-anak. Kalau kujawab, "Menghormati itu ya menuruti perintahnya", mungkin dia bertanya lagi, "Apa sih 'perintah' itu?". Untung ini soal PR, jika ini soal di kelas dia punya sifat malu bertanya. Yang lebih "mengerikan", keponakan di Jakarta masih SD kelas 2 sudah diberi pelajaran Komputer. Ada soal, "Keyboard adalah alat untuk ...". Keponakanku bertanya, "Yang mana sih keyboard itu?". Kupikir, seharusnya pelajaran seperti ini baru pantas diberikan untuk anak usia SMP.

Pelajaran Grundschule sangat sederhana, berpikir analitis (ngulik-ulik), dan memakai bahasa anak. Pelajarannya hanya matematika, bahasa Jerman, olah raga, musik, dan agama (yang ini Naufal tidak ikut, karena yang diberikan hanya agama Kristen). Mulai kelas 2-3 diberikan pelajaran prakarya dan mengarang. Hampir semua pelajaran mengandalkan ketrampilan menggambar. Pernah ada soal pelajaran bahasa Jerman, "Gambarlah anak sedang menanam bunga". Sederhana dan memakai bahasa anak. Pikiran analitis anak mulai dilatih dengan soal misalnya, "Gambarlah orang sedang marah" atau "Gambarlah orang sedang memupuk tanaman". Anak terlebih dulu harus membayangkan ekspresi marah atau benda yang bernama pupuk dan bagaimana memberikannya ke tanaman, barulah dia menggambar. Untunglah, sewaktu di Bandung, anak-anakku ikutPlaygroup yang jadi satu dengan Sanggar Seni Anak. Waktu itu, guru-guru mereka mengajari anak menggambar bukan dengan memegang tangan anak, tapi dengan lebih dulu si guru bercerita dan membiarkan anak berfantasi sendiri. Akibatnya, bisa saja matahari berwarna hijau atau kepala orang lebih besar dari badannya. Guru tidak menyalahkan. Bekal ketrampilan menggambar inilah yang membuat kedua anakku banyak dipuji masing.masing gurunya. Katanya, orang Jerman jika memuji memang benar-benar kagum.

Pelajaran matematika kelas 1 masih berupa pengenalan bilangan 0 – 10 dan operasi penambahan, waktu kelas 2 meningkat sedikit berupa operasi pengurangan bilangan 0 – 100. Perkalian, pembagian dan pengenalan bilangan lebih dari 100 baru dikenalkan waktu kelas 3. Satu tema pelajaran sering diulang-ulang dalam waktu beberapa hari, tapi metodanya dibuat bervariasi. Misalnya, angka "7" dikenalkan dengan cara menulisnya berkali-kali secara rapi, permainan puzzleyang menggambarkan angka tersebut, menggunting dan menempel angka itu, soal cerita "Schneewittchen und die sieben Zwerge (Putri Salju dan Tujuh Kurcaci)", mencari angka itu di antara kumpulan banyak angka yang lain, dsb.

Metoda serupa juga digunakan untuk mengenalkan huruf. Tema pelajaran mengenal huruf "b" saja baru selesai dalam waktu seminggu, dengan berbagai variasi yang dikerjakan di kelas dan sebagai PR di rumah. Pengenalan huruf tuntas (sampai "z") baru di kelas 2. Karena Naufal sudah bisa menulis sejak TK dan hitungan sampai bilangan 1000 sewaktu di Bandung, mula-mula dia bosan menemui pelajaran seperti itu. Aku berusaha meyakinkannya bahwa metoda mengulang-ulang secara bervariasi ini lebih efektif dibandingkan dengan metoda hafalan seperti waktu di Bandung. Aku mencoba meyakinkan, bahwa hasil pendidikan bukan hanya pintar dan berwawasan luas, namun juga kreatif, inovatif, dan tahan berlama-lama berpikir. Kukatakan kepadanya, "Coba lihat kereta ICE. Kamu suka, kan? Siapa yang membuat? Mengapa orang yang membuatnya sampai kepikiran untuk membuat mulutnya lancip? Itu buah dari pikiran (penelitian) yang terus menerus dari insinyur di Jerman, bagaimana caranya membuat kereta berjalan sangat cepat. Hasil itu tidak bisa dicapai dengan cara menghafal atau mencontek". Pelan-pelan akhirnya dia mengerti. Dia akhirnya bersemangat bahwa untuk menjadi masinis kereta ICE yang dia cita-citakan perlu belajar dan berlatih keras.

Setiap akhir tahun pelajaran diadakan festival kelas. Acaranya berupa pementasan anak-anak dengan tema tertentu yang dipimpin gurunya, penyerahan berkas pekerjaan anak di sekolah kepada orang tuanya, dan diakhiri dengan acara ramah tamah antar orang tua dan guru sambil makan dan minum. Tema pentas sewaktu kelas 1 adalah pembacaan puisi tentang angka 0 – 10. Waktu kelas 2, anak-anak pentas drama musik bertema kehidupan Zwerge (kurcaci) sebab sudah tuntas mengenal huruf hingga "z". Saat kelas 3 diadakan Klassenfahrt (wisata kelas) yaitu menginap di sebuah Jugendherberge selama 3 hari 2 malam. Acara itu hanya dipandu oleh dua orang guru, sedangkan orang tua sama sekali tidak boleh menengok dan membekali anak denganhandphone. Di sana anak belajar kemandirian, mulai dari memasang sprei dan sarung bantal, mandi, makan, sampai membawa koper dan menyiapkan pakaian.

***

Mörfelden-Walldorf, awal Januari 2005
Vita Sarasi
Share this article :
Posted by: Abi Wanbul | Dunia dan Akhirat, Updated at: 22.31

0 komentar:

Posting Komentar

 
Site : Home | SMS Gratis | Rebate Forex | Parse HTML
Copyright © 2013. Wanbul - All Rights Reserved
Template Design by MasKolis Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger